Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkara ‘’ Remeh ’’ Ini Ternyata Sangat Berpengaruh Bagi Kemajuan Bangsa

image: sparklingspur
Dalam buku tua  terbitan tahun 60-an yang terdampar di pasar Gladak, yang di tulis oleh ‘’OETOMO’’ berjudul TATA KRAMA NASIONAL INDONESIA, Terceritakan bagaimana tata cara dan budaya membaca di suatu Negara, yang dianggap ‘’remeh’’ selama ini. Yang mana terkatakan merata dan setaraf  contohnya di Inggris, membaca adalah acara makan , minum , kencing dan buang air besar yang tak bisa terpisahkan seperti nafas dan aliran darah dalam tubuh mereka. Di jalan–jalan raya, wc, rumah makan, stasiun , bandara bukanlah halangan bagi  mereka untuk  membaca koran, majalah, novel, sampai buku pengetahuan. Semuanya mereka jalankan seirama kaki mereka bergoyang, selama mata terbuka di situ jiwa dan raga mereka belajar.

Itulah nafas membaca dalam kehidupan di Negara yang di katakan tertaraf dan kehidupan membaca ini terjadi di Negara yang bisa dikatakan sudah tidak ada kebutaan huruf. Sangat jauh sekali kehidupan membaca yang ada di bumi Indonesia, walaupun banyak orang yang sudah mengenal huruf, tapi masih miskin akan makna dalam setiap kata. Meniru kata-kata yang ada dalam lagu, film , iklan, dan sinetron tanpa ikut mendalami, mengkritik, dan meriwayati dalam kata-kata.

Puisi yang sebenarnya ungkapan yang paling intim  dan tulus pun dianggap begitu sombong karena  telah membuat sang pembaca tidak bisa memahami isinya. Ini suatu yang sangat parah karena tak ada lagi pengkritikan, yang ada hanya keluhan dan keputusasaan. Manusia tak lagi menggunakan hati untuk bercengkerama dengan segala kegelisahan hati. Bahasa manusia tak terpahami lagi, maka banyak sekarang muncul kalimat ” kamu tak paham aku ”, bagaimana manusia bisa paham jika  sebagian besar manusia sekarang berguru pada teknologi.

Akhirnya otak mereka pun seperti teknologi robot, bergerak tapi tak berjiwa, hanya mengikuti semua panggilan zaman, tanpa mau berperang jika panggilan zaman tidak memerdekakan pikiran dan jiwa manusia. Namun sebaliknya, manusia sekarang pemuja teknologi .

Manusia akan di katakan manusia intelektual, dan beradab jika kita menguasai teknologi, Teknologi menjadi tingkat taraf manusia.  Orang tua yang tak paham pun akhirnya menitipkan anaknya ke sekolah dengan penuh keikhlasan, dan mereka sudah bisa merasa bangga dan menganggap anaknya cerdas jika pada usia dini mereka bisa mengoperasikan yang namanya teknologi. Miris sekali...

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat anak–anak untuk belajar dan mengenal hidup yang berkarakter pun, sekarang hanya sibuk untuk menyediakan fasilitas, tidak lagi mengajak siswa untuk bertenggang rasa. Pembelajaran tenggang rasa pun hilang karena mereka sudah dibuat sibuk untuk menghadapi pertemanan dengan teknologi yang semakin deras dan tinggi.

Hal demikian sangat kontras dengan tata krama yang ada di Negara kita. Negara yang sebenarnya sangat menjunjung tinggi keramahan, persahabatan, dan tenggang rasa antara sesama. Melihat pada kehidupan di kendaraan umum misalnya, angkot atau bis yang kita gunakan untuk menuju pasar atau sekolahan, adalah telaga persahabatan bagi kita, yang di situ tidak hanya untuk bertutur sapa, tetapi juga untuk menjalin hubungan kerja. Bahkan obrolan – obrolan yang ada di angkot juga  sering bercerita tentang kehidupan keluarga mereka masing-masing, alamat, profesi dari suami atau istri, dan tempat kesukaan – kesukaan mereka untuk belanja dan makan.

Tapi kendaraan umum sekarang seperti  busway di Jakarta kini terasa sunyi , manusia tak lagi bertutur sapa ataupun berbasa –basi, padahal ini bukanlah budaya kita dan budaya tak ambil pusing  dalam kehidupan dalam berkendaraan umum ini, adalah budaya yang hidup di Negara Eropa. Yang mana kesibukan mereka adalah dengan Koran atau buku bacaan.

Jika di Eropa, manusia sibuk dengan cerita dalam lembaran buku, sedangkan sebenarnya di Negara Indonesia, kita di sibukkan dengan cerita antara sesama manusia ketika kita bercumbu raga. Inilah keromantisan bangsa kita, tetapi kita kini telah kehilangan fase membaca kehidupan manusia ini. Fase di mana untuk meriwayati pembacaan rasa alam dan kata. Bahkan kendaraan umum yang dalam riwayat sejarahnya menjadi tempat yang begitu ramai dan hangat akan percakapan, sekarang berubah  menjadi lokasi yang mencekam. Banyak dari  perempuan merasa, Angkot tak bisa diajak bersahabat lagi , tak ada kenyamanan dan keamanan. Bahkan angkot sekarang menjadi lokalisasi untuk perkosaan dan penjambretan.

Kesibukan untuk meningkatkan perekonomian, membuat kita lupa akan estetika akan tenggang rasa dan gotong royong di Indonesia. Inilah dampak pendidikan awal yang hanya menekankan pada penguasaan materi bukan emosi. Begitu gegabah kita menyimpulkan kesuksesan pengajaran hidup dalam melawan globalisasi dengan cara memantapkan posisi teknologi. Serta mengabaikan riwayat sejarah kolonialisme, yang sebenarnya bangsa kita masih dalam zaman merangkak dalam membaca.

Namun pergerakan teknologi yang deras telah menghilangkan fase ini. Kita telah menjelajahi teknologi sebelum riwayat sejarah membaca terlampaui. Hingga membuat manusia tidak berbuku lagi, ruangan belajar mereka menjadi kosong dan sepi karena mereka cukup ditemani dengan mesin teknologi. Manusia tak berbaca, para sarjana cukup puas telah lulus dan mendapat ijazah, padahal mereka masih kosong dalam pemaknaan   kata.

Melejitnya Negara Jepang, Cina ,Amerika dan Eropa, tidak bisa kita lepaskan dari riwayat membaca mereka yang jauh lebih lampau dari Negara kita. Dan mereka sudah lewat dari riwayat membaca, dan inilah yang membuat mereka menjadi Negara adi kuasa, dan sementara Indonesia kita belum. Kompas tanggal 13 Februari memaparkan, Kondisi pendidik bahasa Indonesia yang merasa bingung dalam memberikan konsep pengajaran bahasa dan sastra, hal ini membuktikan periwayatan belajar bahasa dan sastra kita belum sempurna. Seperti masalah ‘’EYD’’ yang ternyata masih jadi masalah yang belum tuntas.

Abdul Hadi MW, seorang penyair dan dosen di Paramadina pun bertutur, “ Pengajaran sastra kepada generasi muda jangan sampai lepas dari sejarah bangsa. Bangsa yang besar punya kesastraan yang berkembang dengan baik”.  Pernyataan ini membuat perefleksian diri akan filosofi perkembangan teknologi  di Negara maju  seperti di Inggris. Tak kan pernah ada film Harry Potter yang cukup dahsyat, Lord of The Ring yang mencekam jika tanpa ada periwayatan sastra di baliknya. Sastra yang bergelimang imajinasilah sang pencetak teknologi.

Jikalau Indonesia tak mencapai tingkat sastra yang lebih tinggi, maka mustahil bagi Indonesia  menjadi Negara pencetak teknologi yang lebih dahsyat lagi.  Kontras dengan keadaan pelajar sekarang yang  hanya puas dengan puluhan buku  selama 16 tahun sekolah. Tak pernah gelisah belajar, karena mereka sudah terpuaskan dengan pelayanan yang di berikan teknologi. Inilah pengkerdilan di dunia pendidikan. Keindahan besi dan cahaya teknologi telah menyilaukan, yang akhirnya menutup mata tentang ayat Tuhan yang pertama, Bacalah” IQRA”, Bukan Berteknologilah.
Oleh : Rena Yanita Sari Kusuma / Arbamedia